Tuesday, January 8, 2013

J.P. Guilford: Structure of Intellect


J.P. Guilford: Structure of Intellect
(Struktur Kecerdasan)
Created by: Rizki Alfath
Diolah dari berbagai sumber

Sekilas Tentang J.P. Guilford
J.P. Guilford atau Joy Paulus Guilford lahir pada tanggal 7 Maret 1897 di daerah Marquette, Nebraska, Amerika Serikat, beliau wafat pada tanggal 26 Nopember 1987 di Los Angeles. J.P. Guilford adalah seorang psikolog asal Amerika Serikat untuk studi psikometri tentang kecerdasan manusia.

Struktur Intelegensi
Inteligensi dan IQ
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah:
a.      Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
b.      Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, dua orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford–Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford–Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet–Simon atau tes Stanford–Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Spearman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik.
Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

Inteligensi dan Bakat
Inteligensi adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat serta menyesuaikan dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test.

Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi? J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan potensi yang diturunkan dan dimiliki oleh setiap orang untuk berfikir secara logis, berfikir abstrak dan kelincahan berfikir. Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual unidimensional, yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas?
Dalam teori kecerdasan tunggal (unidimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini:

 Pengembangan Bakat Matematika
Karakteristik siswa berbakat dalam bidang matematika (Greenes, dalam Munandar, 1999): fleksibilitas dalam mengolah data, kemampuan luar biasa untuk menyusun data, ketangkasan mental, penafsiran yang orisinil, kemampuan luar biasa untuk mengalihkan gagasan, dan kemampuan luar biasa untuk generalisasi. Greenes menambahkan bahwa siswa berbakat matematika lebih menyukai komunikasi lisan daripada tulisan. Saran bagi guru dalam merencanakan model pembelajaran bagi siswa yang berbakat matematika: mendorong pertimbangan dan pemikiran mandiri, mendorong siswa untuk menggunakan berbagai metode untuk memecahkan masalah yang sama, mendorong siswa untuk melakukan pengecekan, memberikan masalah yang menantang dan luar biasa Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya.

Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu: kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan  kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik  dilihat dari aspek kecerdasan,  kreativitas dan komitmen terhadap tugas,  yaitu:
  1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya); 
  2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan; 
  3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis 
  4. Mampu belajar/bekerja secara mandiri; 
  5. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); 
  6. Mempunyai  tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya 
  7. Cermat atau teliti dalam mengamati; 
  8. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah; 
  9. Mempunyai minat luas; 
  10. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi; 
  11. Belajar dengan dan cepat; 
  12. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat; 
  13. Mampu berkonsentrasi; 
  14. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.

Contoh Penerapan Teori Guilford Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam pembelajaran matematika, contoh soal kreativitas yang dikembangkan oleh Guilford diterapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal bilangan, dan menggambar bangun datar dan bangun ruang.  Pada tingkat sekolah dasar maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa materi yang esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreativitas misalnya materi geometri.
Salah satu contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah:
  1. Siswa di kelas diperkenalkan sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCDEFGH yang disusun dari beberapa bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring kubus: 

Siswa diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah diberikan untuk menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain.
  1. Dalam lomba pacuan kuda terdapat 15 lebih kaki kuda daripada ekornya. Berapa banyak kuda pada lomba itu?
Penyelesaian:
Cara 1.
Misal x = banyak kuda dan x juga menyatakan banyak ekor kuda. 
x + 15 = 4x
3x = 15
x = 5.
Jadi, Banyak kuda adalah 5
Cara 2.
Kaki kuda 4 dan ekor satu.
Lebihnya ada 15
Kaki dikurangi ekor ada 3
Bagi 15/3 = 5. 
Banyak kuda adalah 5.
Cara 3.

Banyak kuda adalah 5.
Dari tabel kalau lebihnya pasti kelipatan 3, jadi banyak kuda dapat dicari dengan membagi 3 dari lebih kakinya. Misalkan lebihnya 36, maka banyak kuda pasti 12.

  1. Bagaimanakah cara mendapatkan 6 liter air dari suatu bak, bila hanya tersedia gelas ukuran 9 liter dan 4 liter?

 Kesimpulan
Kreativitas, menurut Guilford dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir), Content (Isi yang Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word Meaning (semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara) dan Product (Hasil  Berfikir).

Thursday, January 3, 2013

Pendidikan Matematika Realistik


Pendidikan Matematika Realistik
Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika
Oleh: Ariyadi Wijaya
Resensi oleh: Rizki Alfath

Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Kata “realistik” sering disalahartikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari. Penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk dibayangkan” atau “to imagine” (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “realistik" tersebut tidak sekadar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imaginable) oleh siswa. Dengan kata lain, suatu masalah disebut “realistik" jika masalah tersebut dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Treffers (1987) merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
a)             Penggunaan konteks
b)             Penggunaan model untuk matematisasi progresif
c)             Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
d)            Interaktivitas
e)             Keterkaitan

Penggunaan Konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.
Roth (1996) menyebutkan tiga sudut pandang yang berbeda terkait definisi konteks. Sudut pandang pertama menekankan pada penggunaan teks untuk menggambarkan situasi; dalam hal ini konteks dipandang sebagai deskripsi situasional suatu masalah. Sudut pandang yang ke dua adalah bahwa konteks dikaitkan pada permasalahan kehidupan sehari-hari yang dapat diubah ke dalam model matematika. Sudut pandang ketiga menghubungkan konteks dengan situasi. Konteks dapat dipandang sebagai suatu situasi spesifik (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996) atau suatu lingkungan yang melibatkan siswa (Whitelegg & Parry, 1999). Kata “situasi” di sini merujuk pada “dunia” di mana siswa ditempatkan atau secara sederhana situasi bisa dianalogikan sebagai tema.
Berdasarkan aspek manfaat konteks, De Lange membagi konteks menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a)             konteks orde pertama,
Konteks orde pertama hanya memuat translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara tekstual dan eksplisit. Contoh:
Pada tempat parker yang terdiri dari motor dan mobil terdapat 25 buah kendaraan. Jumlah roda seluruhnya 80 buah. Jika banyak motor dinyatakan dengan x dan banyak mobil dinyatakan dengan y, sistem persamaan linear dua variabel dari pernyataan di atas adalah ….
[Dengan menggunakan metode subtitusi, tentukan banyak motor dan mobil di tempat parkit tersebut].
Contoh soal tersebut cenderung berupa translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara tekstual dan eksplisit. Hal ini ditunjukkan dengan variabel (x dan y) yang diberikan secara langsung dan istilah “sistem persamaan linear dua variabel” juga disebutkan secara eksplisit walaupun penyebutan istilah tersebut tidak akan berpengaruh pada proses pemodelan yang dilakukan siswa.


b)            konteks orde ke dua
Konteks orde kedua memberikan peluang terjadinya matematisasi. Pada konteks orde ke dua ini permasalahan diberikan kepada siswa dan siswa diharapkan mampu menemukan konsep matematika yang relevan, mampu mengorganisasi informasi, dan kemudian menyelesaikan masalah tersebut. Contoh:
Dina dan Ani membeli buku dan pensil dengan jenis sama, tetapi di took yang berbeda. Dina membeli tiga buku dan dua pensil di toko Cerdas seharga Rp20.000. Pada saat yang sama ada pelanggan lain yang membeli tiga buku dan tiga pensil dengan jenis sama seharga Rp22.500. Ani dan kakaknya membeli buku di toko Cerah. Dengan uang Rp17.200 Ani mendapatkan tiga buku dan satu pensil, sedangkan kakaknya membeli lima buku dan tiga pensil seharga Rp32.400.
a.         Berapakan harga buku dan pensil di masing-masing toko?
b.        Jika kamu hanya diizinkan untuk pergi ke satu toko, toko mana yang akan kamu tuju untuk membeli:
Ø  dua buku dan satu pensil?
Ø  dua buku dan tiga pensil?
c.         Untuk berapa buku dan pensil kedua toko memiliki harga jual yang sama?
c)             konteks orde ke tiga
Merupakan konteks yang paling penting dalam Pendidikan Matematika Realistik karena konteks ini memenuhi karakteristik untuk proses matematisasi konseptual. Konteks orde ke tiga dapat dipahami sebagai konteks yang memungkinkan siswa menemukan (kembali) atau membangun suatu konsep atau ide matematika yang baru. Contoh:
Untuk memperingati hari kemerdekaan RI, suatu toko souvenir menjual paket kaos. Harga kaos Paket Merdeka tersebut dicetak dalam bentuk poster.
Harga yang tertera pada bagian kanan poster menunjukkan harga paket kaos pada baris yang bersesuaian (misal harga dua kaos putih dan satu kaos merah adalah Rp155.000. Sedangkan harga pada bagian bawah poster menunjukkan harga paket kaos pada kolom yang bersesuaian (misal harga tiga kaos merah dan satu kaos hitam adalah Rp210.000).


Kaos dapat dibeli secara terpisah, namun jika dibeli secara terpisah maka akan dikenai pajak 10%. Berapakah harga masing-masing kaos jika dibeli secara terpisah?


Penggunaan Model untuk Matematisasi Progresif
Arti sederhana dari matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena. Mematematikakan bisa diartikan sebagai memodelkan suatu fenomena secara matematis (dalam arti mencari matematika yang relevan terhadap suatu fenomena) ataupun membangun suatu konsep matematika dari suatu fenomena. Secara umum, proses awal dari matematisasi adalah penerjemahan masalah dunia nyata ke dalam matematika. Proses ini mencakup kegiatan sebagai berikut:
1.             Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan masalah dunia nyta;
2.       Merepresentasikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda, termasuk mengorganisasi masalah sesuai dengan konsep matematika yang relevan, serta merumuskan asumsi yang tepat;
3.        Mencari hubungan antara “bahasa” masalah dengan simbol dan “bahasa” formal matematika supaya masalah nyata bsa dipahami secara matematis;
4.             Mencari keteraturan, hubungan, dan pola yang berkaitan dengan masalah;
5.      Menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika yaitu dalam bentuk model matematika (De Lange, 1987).
Kata “model” di sini tidak berarti alat peraga, melainkan sebagai suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah (Maaβ, 2010). Karakteristik Pendidikan Matematik Realistik yang ke dua menempatkan penggunaan model untuk matematisasi progresif sebagai hal yang penting dalam penemuan dan pembangunan konsep matematika oleh siswa. Gravemeijer (1994) menyebutkan empat level atau tingkatan dalam pengembangan model, yaitu:
1.             Level situasional, merupakan level paling dasar dari pemodelan di mana pengetahuan dan model masih berkembang dalam konteks situasi masalah yang digunakan.
2.     Level referensial, model dan strategi yang dikembangkan tidak berada di dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks. Pada level ini, siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga hasil pemodelan pada level ini disebut sebagai model dari (model of) situasi.
3.      Level general, model yang dikembangkan siswa sudah mengarah pada pencarian solusi secara matematis. Model pada level ini disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah.
4.       Level formal, siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis. Tahap formal merupakan tahap perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun oleh siswa.
Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Karakteristik ketiga dari Pendidikan Matematika Realistik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa. Kreativitas siswa dapat dibangun melalui soal-soal Problem Solving atau Open-Ended Problem.
Problem Solving
Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi (high-level skill) yang merupakan jantung dari matematika (Halmos, 1980). Schoenfeld (1985) mendefinisikan masalah (dalam pemecahan masalah) sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak memiliki akses secra langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan “akses secara langsung” adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang sudah pasti. Sebagai contoh:
Tentukan tiga bilangan berurutan yang jumlahnya 24.
Soal tersebut tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai soal pemecahan masalah jika soal tersebut diberikan kepada siswa yang sudah belajar aljabar karena siswa sudah memiliki “akses langsung” berupa persamaan linear. Namun, jika soal tersebut diberikan kepada siswa yang belum mempelajari aljabar maka soal tersebut bisa dikategorikan sebagai soal pemecahan msalah karena siswa perlu mengembangkan “akses” untuk menyelesaikan masalah tersebut, selain menggunakan coba-coba (trial and error).
Open-Ended Problem
Tujuan dari pendekatan yang open-ended adalah untuk mengembangkan aktivitas kreatif dan kemampuan berpikir matematis secara simultan. Ketika suatu soal diberikan dalam bentuk open-ended maka siswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan solusi (dalam hal ini sebagai aktivitas kreatif) dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka milliki (dalam hal ini sebagai kemampuan berpikir matematis).
Soal open-ended tidak harus berupa soal matematika yang rumit karena yang diutamakan dari soal open-ended adalah peluang yang diberikan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi masalah. Mari kita perhatikan dua contoh soal berikut:
Soal pertama:
Segitiga ABC memliki panjang alas 8 cm dan tinggi 5 cm. Tentukan luas dari segitiga ABC.
Soal kedua:
Segitiga KLM memiliki luas 48 cm2. Tentukanlah panjang alas dan tinggi segitiga KLM.
Ke dua soal tersebut terkait konsep matematika yang sama, yaitu luas segitiga. Jika kita memberikan soal pertama kepada siswa maka kita hanya akan mendapatkan satu solusi dan strategi, yaitu luas segitiga adalah 20 cm2 yang diperoleh dengan menggunakan rumus: luas segitiga = ½ (alas x tinggi). Soal pertama ini cenderung kurang mengaktifkan kegiatan berpikir matematis siswa karena soal pertama bisa dikerjakan dengan menggunakan hafalan rumus dan prosedur. Selain itu, siswa juga tidak bisa melakukan kegiatan eksplorasi masalah.
Namun, hal yang berbeda akan kita peroleh jika kita memberikan soal ke dua kepada siswa. Hafalan ataupun pemahaman tentang rumus luas segitiga tidak cukup untuk menyelesaikan soal ke dua. Soal ke dua juga menuntut pemahaman tentang kombinatorik, yaitu kombinasi dua bilangan yang hasil kalinya adalah 96. Selain itu, soal ke dua juga memiliki banyak kemungkinan solusi benar sehingga hal ini dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Interaktivitas
Paham sosial konstruktivis berpandangan bahwa perkembangan kognitif seorang individu merupakan suatu hasil dari komunikasi dalam kelompok sosial yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana paham sosial konstruktivis, Pendidikan Matematika Realistik juga menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja sama menyelesaikan suatu masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian matematis dilandasi oleh norma yang berkembang dalam komunikasi, yaitu norma sosial dan norma sosiomatematik (Tatsis, 2007). Secara khusus Lopez (2007) membedakan norma sosiomatematik menjadi dua, yaitu:
1.             Norma sosiomatematik terkait dengan pemecahan masalah
Norma ini fokus pada ekspektasi bagaimana pemecahan masalah harus dilakukan. Sebagai contoh adalah mencoba berbagai macam strategi pemecahan masalah dan verfikasi hasil penyelesaian.
2.             Norma sosiomatematik terkait dengan partisipasi dalam aktivitas bersama untuk pemecahan masalah
Norma ini fokus pada bentuk ideal interaksi sosial yang diharapkan dapat mendukung aktivitas penyelesaian masalah secara produktif. Norma sosiomatematik ini sebenarnya cenderung merupakan bentuk norma sosial, namun Lopez menekankan pada “objek matematis” dalam norma, yaitu “pemecahan masalah”.
Terlepas dari pembedaan norma sosiomatematik yang dirumuskan oleh Lopez tersebut, secara umum norma sosiomatematik berkaitan dengan negosiasi tentang: (1) apa yang disebut sebagai prosedur pemecahan masalah, (2) prosedur pemecahan masalah seperti apa yang bisa diterima, (3) alternatif prosedur, dan (4) perumusan prosedur yang efektif.

Keterkaitan
Penempatan domain matematika sebagai objek yang terpisah menyebabkan siswa mengalami kesulitan untuk melihat hubungan antar domain dan memahami bagaimana pengetahuan tentang suatu konsep dibutuhkan untuk mempelajari konsep lain. Selain itu, pada dunia nyata sangat jarang kita temukan suatu permasalahan matematika yang dapat dipahami dan diselsaikan hanya melalui penerapan suatu ilmu pengetahuan dari suatu domain (OECD, 2009). Domain-domain dalam matematika cenderung dipandang sebagai “isi” dari matematika, bukan sebagai “komponen” yang membentuk matematika.