Thursday, January 3, 2013

Pendidikan Matematika Realistik


Pendidikan Matematika Realistik
Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika
Oleh: Ariyadi Wijaya
Resensi oleh: Rizki Alfath

Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Kata “realistik” sering disalahartikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari. Penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk dibayangkan” atau “to imagine” (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “realistik" tersebut tidak sekadar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imaginable) oleh siswa. Dengan kata lain, suatu masalah disebut “realistik" jika masalah tersebut dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Treffers (1987) merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
a)             Penggunaan konteks
b)             Penggunaan model untuk matematisasi progresif
c)             Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
d)            Interaktivitas
e)             Keterkaitan

Penggunaan Konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.
Roth (1996) menyebutkan tiga sudut pandang yang berbeda terkait definisi konteks. Sudut pandang pertama menekankan pada penggunaan teks untuk menggambarkan situasi; dalam hal ini konteks dipandang sebagai deskripsi situasional suatu masalah. Sudut pandang yang ke dua adalah bahwa konteks dikaitkan pada permasalahan kehidupan sehari-hari yang dapat diubah ke dalam model matematika. Sudut pandang ketiga menghubungkan konteks dengan situasi. Konteks dapat dipandang sebagai suatu situasi spesifik (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996) atau suatu lingkungan yang melibatkan siswa (Whitelegg & Parry, 1999). Kata “situasi” di sini merujuk pada “dunia” di mana siswa ditempatkan atau secara sederhana situasi bisa dianalogikan sebagai tema.
Berdasarkan aspek manfaat konteks, De Lange membagi konteks menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a)             konteks orde pertama,
Konteks orde pertama hanya memuat translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara tekstual dan eksplisit. Contoh:
Pada tempat parker yang terdiri dari motor dan mobil terdapat 25 buah kendaraan. Jumlah roda seluruhnya 80 buah. Jika banyak motor dinyatakan dengan x dan banyak mobil dinyatakan dengan y, sistem persamaan linear dua variabel dari pernyataan di atas adalah ….
[Dengan menggunakan metode subtitusi, tentukan banyak motor dan mobil di tempat parkit tersebut].
Contoh soal tersebut cenderung berupa translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara tekstual dan eksplisit. Hal ini ditunjukkan dengan variabel (x dan y) yang diberikan secara langsung dan istilah “sistem persamaan linear dua variabel” juga disebutkan secara eksplisit walaupun penyebutan istilah tersebut tidak akan berpengaruh pada proses pemodelan yang dilakukan siswa.


b)            konteks orde ke dua
Konteks orde kedua memberikan peluang terjadinya matematisasi. Pada konteks orde ke dua ini permasalahan diberikan kepada siswa dan siswa diharapkan mampu menemukan konsep matematika yang relevan, mampu mengorganisasi informasi, dan kemudian menyelesaikan masalah tersebut. Contoh:
Dina dan Ani membeli buku dan pensil dengan jenis sama, tetapi di took yang berbeda. Dina membeli tiga buku dan dua pensil di toko Cerdas seharga Rp20.000. Pada saat yang sama ada pelanggan lain yang membeli tiga buku dan tiga pensil dengan jenis sama seharga Rp22.500. Ani dan kakaknya membeli buku di toko Cerah. Dengan uang Rp17.200 Ani mendapatkan tiga buku dan satu pensil, sedangkan kakaknya membeli lima buku dan tiga pensil seharga Rp32.400.
a.         Berapakan harga buku dan pensil di masing-masing toko?
b.        Jika kamu hanya diizinkan untuk pergi ke satu toko, toko mana yang akan kamu tuju untuk membeli:
Ø  dua buku dan satu pensil?
Ø  dua buku dan tiga pensil?
c.         Untuk berapa buku dan pensil kedua toko memiliki harga jual yang sama?
c)             konteks orde ke tiga
Merupakan konteks yang paling penting dalam Pendidikan Matematika Realistik karena konteks ini memenuhi karakteristik untuk proses matematisasi konseptual. Konteks orde ke tiga dapat dipahami sebagai konteks yang memungkinkan siswa menemukan (kembali) atau membangun suatu konsep atau ide matematika yang baru. Contoh:
Untuk memperingati hari kemerdekaan RI, suatu toko souvenir menjual paket kaos. Harga kaos Paket Merdeka tersebut dicetak dalam bentuk poster.
Harga yang tertera pada bagian kanan poster menunjukkan harga paket kaos pada baris yang bersesuaian (misal harga dua kaos putih dan satu kaos merah adalah Rp155.000. Sedangkan harga pada bagian bawah poster menunjukkan harga paket kaos pada kolom yang bersesuaian (misal harga tiga kaos merah dan satu kaos hitam adalah Rp210.000).


Kaos dapat dibeli secara terpisah, namun jika dibeli secara terpisah maka akan dikenai pajak 10%. Berapakah harga masing-masing kaos jika dibeli secara terpisah?


Penggunaan Model untuk Matematisasi Progresif
Arti sederhana dari matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena. Mematematikakan bisa diartikan sebagai memodelkan suatu fenomena secara matematis (dalam arti mencari matematika yang relevan terhadap suatu fenomena) ataupun membangun suatu konsep matematika dari suatu fenomena. Secara umum, proses awal dari matematisasi adalah penerjemahan masalah dunia nyata ke dalam matematika. Proses ini mencakup kegiatan sebagai berikut:
1.             Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan masalah dunia nyta;
2.       Merepresentasikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda, termasuk mengorganisasi masalah sesuai dengan konsep matematika yang relevan, serta merumuskan asumsi yang tepat;
3.        Mencari hubungan antara “bahasa” masalah dengan simbol dan “bahasa” formal matematika supaya masalah nyata bsa dipahami secara matematis;
4.             Mencari keteraturan, hubungan, dan pola yang berkaitan dengan masalah;
5.      Menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika yaitu dalam bentuk model matematika (De Lange, 1987).
Kata “model” di sini tidak berarti alat peraga, melainkan sebagai suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah (Maaβ, 2010). Karakteristik Pendidikan Matematik Realistik yang ke dua menempatkan penggunaan model untuk matematisasi progresif sebagai hal yang penting dalam penemuan dan pembangunan konsep matematika oleh siswa. Gravemeijer (1994) menyebutkan empat level atau tingkatan dalam pengembangan model, yaitu:
1.             Level situasional, merupakan level paling dasar dari pemodelan di mana pengetahuan dan model masih berkembang dalam konteks situasi masalah yang digunakan.
2.     Level referensial, model dan strategi yang dikembangkan tidak berada di dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks. Pada level ini, siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga hasil pemodelan pada level ini disebut sebagai model dari (model of) situasi.
3.      Level general, model yang dikembangkan siswa sudah mengarah pada pencarian solusi secara matematis. Model pada level ini disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah.
4.       Level formal, siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis. Tahap formal merupakan tahap perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun oleh siswa.
Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Karakteristik ketiga dari Pendidikan Matematika Realistik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa. Kreativitas siswa dapat dibangun melalui soal-soal Problem Solving atau Open-Ended Problem.
Problem Solving
Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi (high-level skill) yang merupakan jantung dari matematika (Halmos, 1980). Schoenfeld (1985) mendefinisikan masalah (dalam pemecahan masalah) sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak memiliki akses secra langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan “akses secara langsung” adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang sudah pasti. Sebagai contoh:
Tentukan tiga bilangan berurutan yang jumlahnya 24.
Soal tersebut tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai soal pemecahan masalah jika soal tersebut diberikan kepada siswa yang sudah belajar aljabar karena siswa sudah memiliki “akses langsung” berupa persamaan linear. Namun, jika soal tersebut diberikan kepada siswa yang belum mempelajari aljabar maka soal tersebut bisa dikategorikan sebagai soal pemecahan msalah karena siswa perlu mengembangkan “akses” untuk menyelesaikan masalah tersebut, selain menggunakan coba-coba (trial and error).
Open-Ended Problem
Tujuan dari pendekatan yang open-ended adalah untuk mengembangkan aktivitas kreatif dan kemampuan berpikir matematis secara simultan. Ketika suatu soal diberikan dalam bentuk open-ended maka siswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan solusi (dalam hal ini sebagai aktivitas kreatif) dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka milliki (dalam hal ini sebagai kemampuan berpikir matematis).
Soal open-ended tidak harus berupa soal matematika yang rumit karena yang diutamakan dari soal open-ended adalah peluang yang diberikan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi masalah. Mari kita perhatikan dua contoh soal berikut:
Soal pertama:
Segitiga ABC memliki panjang alas 8 cm dan tinggi 5 cm. Tentukan luas dari segitiga ABC.
Soal kedua:
Segitiga KLM memiliki luas 48 cm2. Tentukanlah panjang alas dan tinggi segitiga KLM.
Ke dua soal tersebut terkait konsep matematika yang sama, yaitu luas segitiga. Jika kita memberikan soal pertama kepada siswa maka kita hanya akan mendapatkan satu solusi dan strategi, yaitu luas segitiga adalah 20 cm2 yang diperoleh dengan menggunakan rumus: luas segitiga = ½ (alas x tinggi). Soal pertama ini cenderung kurang mengaktifkan kegiatan berpikir matematis siswa karena soal pertama bisa dikerjakan dengan menggunakan hafalan rumus dan prosedur. Selain itu, siswa juga tidak bisa melakukan kegiatan eksplorasi masalah.
Namun, hal yang berbeda akan kita peroleh jika kita memberikan soal ke dua kepada siswa. Hafalan ataupun pemahaman tentang rumus luas segitiga tidak cukup untuk menyelesaikan soal ke dua. Soal ke dua juga menuntut pemahaman tentang kombinatorik, yaitu kombinasi dua bilangan yang hasil kalinya adalah 96. Selain itu, soal ke dua juga memiliki banyak kemungkinan solusi benar sehingga hal ini dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Interaktivitas
Paham sosial konstruktivis berpandangan bahwa perkembangan kognitif seorang individu merupakan suatu hasil dari komunikasi dalam kelompok sosial yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana paham sosial konstruktivis, Pendidikan Matematika Realistik juga menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja sama menyelesaikan suatu masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian matematis dilandasi oleh norma yang berkembang dalam komunikasi, yaitu norma sosial dan norma sosiomatematik (Tatsis, 2007). Secara khusus Lopez (2007) membedakan norma sosiomatematik menjadi dua, yaitu:
1.             Norma sosiomatematik terkait dengan pemecahan masalah
Norma ini fokus pada ekspektasi bagaimana pemecahan masalah harus dilakukan. Sebagai contoh adalah mencoba berbagai macam strategi pemecahan masalah dan verfikasi hasil penyelesaian.
2.             Norma sosiomatematik terkait dengan partisipasi dalam aktivitas bersama untuk pemecahan masalah
Norma ini fokus pada bentuk ideal interaksi sosial yang diharapkan dapat mendukung aktivitas penyelesaian masalah secara produktif. Norma sosiomatematik ini sebenarnya cenderung merupakan bentuk norma sosial, namun Lopez menekankan pada “objek matematis” dalam norma, yaitu “pemecahan masalah”.
Terlepas dari pembedaan norma sosiomatematik yang dirumuskan oleh Lopez tersebut, secara umum norma sosiomatematik berkaitan dengan negosiasi tentang: (1) apa yang disebut sebagai prosedur pemecahan masalah, (2) prosedur pemecahan masalah seperti apa yang bisa diterima, (3) alternatif prosedur, dan (4) perumusan prosedur yang efektif.

Keterkaitan
Penempatan domain matematika sebagai objek yang terpisah menyebabkan siswa mengalami kesulitan untuk melihat hubungan antar domain dan memahami bagaimana pengetahuan tentang suatu konsep dibutuhkan untuk mempelajari konsep lain. Selain itu, pada dunia nyata sangat jarang kita temukan suatu permasalahan matematika yang dapat dipahami dan diselsaikan hanya melalui penerapan suatu ilmu pengetahuan dari suatu domain (OECD, 2009). Domain-domain dalam matematika cenderung dipandang sebagai “isi” dari matematika, bukan sebagai “komponen” yang membentuk matematika.



No comments:

Post a Comment