Pendidikan Matematika Realistik
Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika
Oleh:
Ariyadi Wijaya
Resensi
oleh: Rizki Alfath
Pendidikan Matematika
Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda.
Kata “realistik” sering disalahartikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa
Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika
yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari. Penggunaan kata “realistik”
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich
realiseren” yang berarti “untuk dibayangkan” atau “to imagine” (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut Van den
Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “realistik" tersebut tidak sekadar
menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika
Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa
dibayangkan (imaginable) oleh siswa. Dengan
kata lain, suatu masalah disebut “realistik" jika masalah tersebut dapat
dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Treffers (1987)
merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
a)
Penggunaan konteks
b)
Penggunaan model untuk matematisasi progresif
c)
Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
d)
Interaktivitas
e)
Keterkaitan
Penggunaan
Konteks
Konteks atau
permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk
permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna
dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.
Roth (1996)
menyebutkan tiga sudut pandang yang berbeda terkait definisi konteks. Sudut
pandang pertama menekankan pada penggunaan teks untuk menggambarkan situasi; dalam
hal ini konteks dipandang sebagai deskripsi situasional suatu masalah. Sudut
pandang yang ke dua adalah bahwa konteks dikaitkan pada permasalahan kehidupan
sehari-hari yang dapat diubah ke dalam model matematika. Sudut pandang ketiga
menghubungkan konteks dengan situasi. Konteks dapat dipandang sebagai suatu
situasi spesifik (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996) atau suatu lingkungan yang melibatkan
siswa (Whitelegg & Parry, 1999). Kata “situasi” di sini merujuk pada
“dunia” di mana siswa ditempatkan atau secara sederhana situasi bisa
dianalogikan sebagai tema.
Berdasarkan aspek
manfaat konteks, De Lange membagi konteks menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a)
konteks orde
pertama,
Konteks orde pertama
hanya memuat translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara tekstual
dan eksplisit. Contoh:
Pada tempat parker
yang terdiri dari motor dan mobil terdapat 25 buah kendaraan. Jumlah roda
seluruhnya 80 buah. Jika banyak motor dinyatakan dengan x dan banyak mobil dinyatakan dengan y, sistem persamaan linear dua variabel dari pernyataan di atas
adalah ….
[Dengan menggunakan
metode subtitusi, tentukan banyak motor dan mobil di tempat parkit tersebut].
Contoh soal tersebut
cenderung berupa translasi (penerjemahan) permasalahan matematika secara
tekstual dan eksplisit. Hal ini ditunjukkan dengan variabel (x dan y) yang diberikan secara langsung dan istilah “sistem persamaan
linear dua variabel” juga disebutkan secara eksplisit walaupun penyebutan
istilah tersebut tidak akan berpengaruh pada proses pemodelan yang dilakukan
siswa.
b)
konteks orde ke dua
Konteks orde kedua
memberikan peluang terjadinya matematisasi. Pada konteks orde ke dua ini permasalahan
diberikan kepada siswa dan siswa diharapkan mampu menemukan konsep matematika
yang relevan, mampu mengorganisasi informasi, dan kemudian menyelesaikan
masalah tersebut. Contoh:
Dina dan Ani membeli
buku dan pensil dengan jenis sama, tetapi di took yang berbeda. Dina membeli
tiga buku dan dua pensil di toko Cerdas seharga Rp20.000. Pada saat yang sama
ada pelanggan lain yang membeli tiga buku dan tiga pensil dengan jenis sama
seharga Rp22.500. Ani dan kakaknya membeli buku di toko Cerah. Dengan uang
Rp17.200 Ani mendapatkan tiga buku dan satu pensil, sedangkan kakaknya membeli
lima buku dan tiga pensil seharga Rp32.400.
a.
Berapakan harga buku dan pensil di masing-masing
toko?
b.
Jika kamu hanya diizinkan untuk pergi ke satu toko,
toko mana yang akan kamu tuju untuk membeli:
Ø
dua buku dan satu pensil?
Ø
dua buku dan tiga pensil?
c.
Untuk berapa buku dan pensil kedua toko memiliki
harga jual yang sama?
c)
konteks orde ke
tiga
Merupakan konteks
yang paling penting dalam Pendidikan Matematika Realistik karena konteks ini
memenuhi karakteristik untuk proses matematisasi konseptual. Konteks orde ke
tiga dapat dipahami sebagai konteks yang memungkinkan siswa menemukan (kembali)
atau membangun suatu konsep atau ide matematika yang baru. Contoh:
Untuk memperingati
hari kemerdekaan RI, suatu toko souvenir
menjual paket kaos. Harga kaos Paket Merdeka tersebut dicetak dalam bentuk
poster.
Harga yang tertera
pada bagian kanan poster menunjukkan harga paket kaos pada baris yang
bersesuaian (misal harga dua kaos putih dan satu kaos merah adalah Rp155.000.
Sedangkan harga pada bagian bawah poster menunjukkan harga paket kaos pada
kolom yang bersesuaian (misal harga tiga kaos merah dan satu kaos hitam adalah
Rp210.000).
Kaos dapat dibeli
secara terpisah, namun jika dibeli secara terpisah maka akan dikenai pajak 10%.
Berapakah harga masing-masing kaos jika dibeli secara terpisah?
Penggunaan
Model untuk Matematisasi Progresif
Arti sederhana dari
matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena.
Mematematikakan bisa diartikan sebagai memodelkan suatu fenomena secara
matematis (dalam arti mencari matematika yang relevan terhadap suatu fenomena)
ataupun membangun suatu konsep matematika dari suatu fenomena. Secara umum,
proses awal dari matematisasi adalah penerjemahan masalah dunia nyata ke dalam
matematika. Proses ini mencakup kegiatan sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan
masalah dunia nyta;
2. Merepresentasikan masalah dengan berbagai cara yang
berbeda, termasuk mengorganisasi masalah sesuai dengan konsep matematika yang
relevan, serta merumuskan asumsi yang tepat;
3. Mencari hubungan antara “bahasa” masalah dengan simbol
dan “bahasa” formal matematika supaya masalah nyata bsa dipahami secara
matematis;
4.
Mencari keteraturan, hubungan, dan pola yang
berkaitan dengan masalah;
5. Menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika
yaitu dalam bentuk model matematika (De Lange, 1987).
Kata “model” di sini
tidak berarti alat peraga, melainkan sebagai suatu bentuk representasi
matematis dari suatu masalah (Maaβ, 2010). Karakteristik Pendidikan Matematik
Realistik yang ke dua menempatkan penggunaan model untuk matematisasi progresif
sebagai hal yang penting dalam penemuan dan pembangunan konsep matematika oleh
siswa. Gravemeijer (1994) menyebutkan empat level atau tingkatan dalam
pengembangan model, yaitu:
1.
Level situasional, merupakan level paling dasar dari
pemodelan di mana pengetahuan dan model masih berkembang dalam konteks situasi
masalah yang digunakan.
2. Level referensial, model dan strategi yang
dikembangkan tidak berada di dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk
pada konteks. Pada level ini, siswa membuat model untuk menggambarkan situasi
konteks sehingga hasil pemodelan pada level ini disebut sebagai model dari (model of) situasi.
3. Level general, model yang dikembangkan siswa sudah
mengarah pada pencarian solusi secara matematis. Model pada level ini disebut
model untuk (model for) penyelesaian
masalah.
4. Level formal, siswa sudah bekerja dengan menggunakan
simbol dan representasi matematis. Tahap formal merupakan tahap perumusan dan
penegasan konsep matematika yang dibangun oleh siswa.
Pemanfaatan
hasil konstruksi siswa
Karakteristik ketiga dari
Pendidikan Matematika Realistik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa
memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan
kreativitas siswa. Kreativitas siswa dapat dibangun melalui soal-soal Problem Solving atau Open-Ended Problem.
Problem
Solving
Pemecahan masalah
dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi (high-level skill) yang merupakan jantung dari matematika (Halmos,
1980). Schoenfeld (1985) mendefinisikan masalah (dalam pemecahan masalah) sebagai
suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak memiliki
akses secra langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan “akses
secara langsung” adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang
sudah pasti. Sebagai contoh:
Tentukan
tiga bilangan berurutan yang jumlahnya 24.
Soal tersebut tidak
sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai soal pemecahan masalah jika soal tersebut
diberikan kepada siswa yang sudah belajar aljabar karena siswa sudah memiliki
“akses langsung” berupa persamaan linear. Namun, jika soal tersebut diberikan
kepada siswa yang belum mempelajari aljabar maka soal tersebut bisa
dikategorikan sebagai soal pemecahan msalah karena siswa perlu mengembangkan
“akses” untuk menyelesaikan masalah tersebut, selain menggunakan coba-coba (trial and error).
Open-Ended
Problem
Tujuan dari
pendekatan yang open-ended adalah
untuk mengembangkan aktivitas kreatif dan kemampuan berpikir matematis secara
simultan. Ketika suatu soal diberikan dalam bentuk open-ended maka siswa memiliki kesempatan untuk melakukan
eksplorasi kemungkinan solusi (dalam hal ini sebagai aktivitas kreatif) dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka milliki (dalam
hal ini sebagai kemampuan berpikir matematis).
Soal open-ended tidak harus berupa soal matematika
yang rumit karena yang diutamakan dari soal open-ended
adalah peluang yang diberikan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi masalah.
Mari kita perhatikan dua contoh soal berikut:
Soal
pertama:
Segitiga ABC memliki panjang alas 8 cm dan tinggi
5 cm. Tentukan luas dari segitiga ABC.
Soal
kedua:
Segitiga KLM memiliki luas 48 cm2.
Tentukanlah panjang alas dan tinggi segitiga KLM.
Ke dua soal tersebut
terkait konsep matematika yang sama, yaitu luas segitiga. Jika kita memberikan
soal pertama kepada siswa maka kita hanya akan mendapatkan satu solusi dan
strategi, yaitu luas segitiga adalah 20 cm2 yang diperoleh dengan
menggunakan rumus: luas segitiga = ½ (alas x
tinggi). Soal pertama ini cenderung kurang mengaktifkan kegiatan berpikir
matematis siswa karena soal pertama bisa dikerjakan dengan menggunakan hafalan
rumus dan prosedur. Selain itu, siswa juga tidak bisa melakukan kegiatan
eksplorasi masalah.
Namun, hal yang
berbeda akan kita peroleh jika kita memberikan soal ke dua kepada siswa.
Hafalan ataupun pemahaman tentang rumus luas segitiga tidak cukup untuk
menyelesaikan soal ke dua. Soal ke dua juga menuntut pemahaman tentang
kombinatorik, yaitu kombinasi dua bilangan yang hasil kalinya adalah 96. Selain
itu, soal ke dua juga memiliki banyak kemungkinan solusi benar sehingga hal ini
dapat mengembangkan kreativitas siswa.
Interaktivitas
Paham sosial
konstruktivis berpandangan bahwa perkembangan kognitif seorang individu
merupakan suatu hasil dari komunikasi dalam kelompok sosial yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana paham sosial konstruktivis,
Pendidikan Matematika Realistik juga menekankan pentingnya interaksi sosial
dalam pembelajaran. Interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja
sama menyelesaikan suatu masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu
hasil penyelesaian matematis dilandasi oleh norma yang berkembang dalam
komunikasi, yaitu norma sosial dan norma sosiomatematik (Tatsis, 2007). Secara
khusus Lopez (2007) membedakan norma sosiomatematik menjadi dua, yaitu:
1.
Norma sosiomatematik terkait dengan pemecahan
masalah
Norma ini fokus pada
ekspektasi bagaimana pemecahan masalah harus dilakukan. Sebagai contoh adalah
mencoba berbagai macam strategi pemecahan masalah dan verfikasi hasil
penyelesaian.
2.
Norma sosiomatematik terkait dengan partisipasi
dalam aktivitas bersama untuk pemecahan masalah
Norma ini fokus pada
bentuk ideal interaksi sosial yang diharapkan dapat mendukung aktivitas
penyelesaian masalah secara produktif. Norma sosiomatematik ini sebenarnya
cenderung merupakan bentuk norma sosial, namun Lopez menekankan pada “objek
matematis” dalam norma, yaitu “pemecahan masalah”.
Terlepas dari
pembedaan norma sosiomatematik yang dirumuskan oleh Lopez tersebut, secara umum
norma sosiomatematik berkaitan dengan negosiasi tentang: (1) apa yang disebut
sebagai prosedur pemecahan masalah, (2) prosedur pemecahan masalah seperti apa
yang bisa diterima, (3) alternatif prosedur, dan (4) perumusan prosedur yang
efektif.
Keterkaitan
Penempatan domain
matematika sebagai objek yang terpisah menyebabkan siswa mengalami kesulitan untuk
melihat hubungan antar domain dan memahami bagaimana pengetahuan tentang suatu
konsep dibutuhkan untuk mempelajari konsep lain. Selain itu, pada dunia nyata
sangat jarang kita temukan suatu permasalahan matematika yang dapat dipahami
dan diselsaikan hanya melalui penerapan suatu ilmu pengetahuan dari suatu
domain (OECD, 2009). Domain-domain dalam matematika cenderung dipandang sebagai
“isi” dari matematika, bukan sebagai “komponen” yang membentuk matematika.

No comments:
Post a Comment